Fajarasia.id – Menteri Luar Negeri RI Retno Lestari Priansari Marsudi mendesak negara-negara tujuan pengungsi agar menerima Rohingya. Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara pihak dalam Protokol Pengungsi Tahun 1967, merespons problem pengungsi Rohingya yang sebulan belakangan datang bergelombang ke Aceh itu.
“Kami terus mengakui dan memuji semangat kemanusiaan Indonesia yang mengizinkan ribuan pengungsi Rohingya mendarat di Aceh pada tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Kami menyadari kedatangan mereka telah memberikan beban pada masyarakat setempat, dan kami turut merasakan kekecewaan Indonesia bahwa pendekatan regional yang komprehensif terhadap krisis ini masih sulit dilakukan,” kata juru bicara Kedutaan Besar (Kedubes) AS untuk Indonesia, Michael Quinlan, dalam keterangan tertulis kepada Wartawan, Selasa (19/12/2023).
Sebagai catatan, ada Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, dibikin di Kantor Eropa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa pada 2-25 Juli 1951. Indonesia tidak meratifikasi konvensi, tidak pula meratifikasi Protokol Pengungsi 1967. Maka Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi, melainkan negara transit untuk pengungsi saja.
Adapun negara tujuan (kadang disebut pula sebagai negara ketiga/negara penerima) pengungsi adalah negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967, di antaranya Australia, Selandia Baru, Jepang, sejumlah negara Timur Tengah, sedikit negara di Asia Tenggara, negara-negara di Eropa, hingga Kanada. AS tidak meratifikasi Konvensi 1951, tapi meratifikasi Protokol Pengungsi 1967 dan menjadi negara pihak (state party) dalam protokol itu. Dengan kata lain, AS punya tanggung jawab untuk memproses klaim pencari suaka dan memutuskan apakah mereka dapat mendapat perlindungan sah di AS.
Kembali ke penjelasan jubir Kedubes AS untuk RI, Michael Quinlan, dia menjelaskan mengenai bantuan AS terhadap penanganan Rohingya. AS memberikan bantuan USD 2,2 miliar (sekitar Rp 34 triliun) di seluruh kawasan sejak 2017.
“Sejak tahun 2009, Amerika Serikat telah memukimkan kembali lebih dari 12 ribu warga Rohingya dari kawasan tersebut,” kata Quinlan.
Khusus untuk Indonesia, Kedubes AS untuk RI menjelaskan bahwa AS telah lama memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang membantu pengungsi dan masyarakat yang menampung pengungsi. Dia mengatakan angka USD 2 juta atau sekitar Rp 31 miliar untuk tahun ini.
“Kami memberikan bantuan senilai lebih dari 2 juta Dolar di Indonesia pada tahun fiskal 2023, yang membantu mitra, seperti UNHCR dan IOM, dalam mendukung otoritas dan komunitas di tingkat lokal dan nasional terkait kedatangan pengungsi Rohingya yang baru. Kami berkomitmen untuk melanjutkan dukungan ini dan menyadari bahwa diperlukan lebih banyak sumber daya – termasuk untuk mendukung masyarakat Indonesia yang terkena dampak dari kedatangan para pengungsi,” kata Quinlan.
Masyarakat Rohingya berasal dari Myanmar. Mereka hijrah dari tempat berbahaya di negaranya menuju tempat yang lebih aman, termasuk kemudian ke pengungsian terbesar di dunia, yakni di Cox’s Bazar, Bangladesh. Namun kondisi di Cox’s Bazar juga tidak baik.
“Banyak masyarakat Rohingya menaiki perahu pergi ke Indonesia karena kondisi tanpa harapan dan memburuk di Cox’s Bazar, Bangladesh. Amerika Serikat merupakan donor terbesar dalam aksi tanggap di Cox’s Bazar,” kata Quinlan.
Pada 14 Desember, Lembaga Pembangunan Internasional AS atau USAID mengumumkan tambahan dana USD 87 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) untuk membantu kondisi di Cox’s Bazar dan Bhasan Char di Bangladesh.
Sebelumnya, Menlu Retno di acara Global Refugee Forum (GRF) di Jenewa, Rabu (13/12) lalu. Retno mengingatkan negara-negara tujuan pengungsi untuk lebih ‘sat-set’ menampung pengungsi dan memukimkan mereka di negara tujuan (resettlement). Menlu Retno mengkritik sikap negara-negara tujuan akhir-akhir ini yang ogah menerima pengungsi, padahal mereka meratifikasi Konvensi 1951.
“Selain itu, saya juga menekankan kewajiban menerima resettlement bagi negara pihak Konvensi Pengungsi. Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ini berjalan dengan sangat lamban. Banyak negara pihak bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi,” sorot Retno, dikutip dari situs Kemlu RI.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhamad Iqbal, juga meminta negara-negara pihak di dalam konvensi dan komunitas internasional menunjukkan tanggung jawab lebih terkait masalah pengungsi Rohingya.
“Kita melihat bahwa penanganan permasalahan pengungsi ini, khususnya isu resettlement, ini sangat lambat selama ini, karena itu kita meminta agar negara-negara pihak di dalam Konvensi dan komunitas internasional menunjukkan tanggung jawab lebih terhadap upaya menyelesaikan masalah pengungsi dari Rohingya ini,” kata Iqbal dalam jumpa pers di kantor Kemenlu RI, Jakarta Pusat, Selasa (12/12).****