Fajarasia.id – Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menegaskan DPR RI memiliki keberpihakan terhadap ibu dan anak melalui RUU Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA. Komitmen itu ditunjukkan Puan dengan akan dimasukkannya RUU tersebut ke dalam pembahasan Badan Musyawarah dan Rapat Pimpinan DPR RI selanjutnya.
Sehingga, RUU yang telah disahkan di tingkat I antara Komisi VIII bersama dengan Pemerintah tersebut dapat disahkan dalam Rapat Paripurna yang akan datang.
”Nanti dalam Rapim dan Bamus selanjutnya, tentu saja dalam Paripurna selanjutnya kita akan masukan yang sudah diputuskan dalam tingkat satu dalam paripurna. Jadi ini masalahnya mekanisme saja yang dilakukan secara bertahap sehingga tidak melewati mekanisme mekanisme yang ada di DPR,” terang Politisi Fraksi PDI Perjuangan ini usai memimpin Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Diketahui, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga memberi gambaran umum sejumlah poin penting yang diatur dalam RUU tersebut. Bintang mengungkap sedikitnya ada enam poin penting.
RUU KIA terdiri dari 9 bab dan 46 pasal dengan sistematika mulai dari hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, hingga partisipasi masyarakat.
Pertama, RUU itu semula dinamakan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Namun, ada penambahan nama menjadi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 hari Pertama Kehidupan.
Kedua, RUU tersebut hanya mendefinisikan 1.000 hari pertama kehidupan anak, dan bukan definisi anak. Definisi anak telah didefinisikan dalam UU lain seperti UU Perlindungan Ibu dan Anak. Menurut Bintang, 1.000 hari pertama kehidupan anak adalah seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia dua tahun.
Ketiga, seorang ibu yang tengah melewati persalinan berhak mendapat cuti kerja minimal tiga bulan. Jumlah cuti bisa diperpanjang hingga tiga bulan berikutnya bila ada surat keterangan dokter.
Artinya, selama masa cuti itu, seorang ibu tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya. Kata Bintang, ibu yang cuti melahirkan juga tetap mendapat upah secara penuh di tiga bulan pertama, dan 75 persen untuk bulan keempat hingga keenam.
“Dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan untuk bulan keempat serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam,” kata Bintang.
Keempat, bagi seorang suami, yang menemani istri melahirkan, berhak mendapat cuti minimal dua hari, atau tambahan tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan. Sedangkan bagi suami yang menemani istri keguguran berhak mendapat cuti dua hari.
Kelima, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak juga mengatur soal ibu dalam kondisi kerentanan khusus. Misalnya, ibu dalam kondisi bencana, ibu di lembaga pemasyarakatan, ibu di penampungan, ibu tunggal, hingga ibu korban kekerasan.
Keenam, RUU juga mengatur upaya membangun kesejahteraan ibu dan anak pada tingkatan terkecil agar menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya keluarga namun juga lingkungan. Menurut Bintang, hal itu juga untuk menghindari domestifikasi peran dan tanggung jawab pengasuhan pada satu pihak saja.
RUU KIA terdiri dari 9 bab dan 46 pasal dengan sistematika mulai dari hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, hingga partisipasi masyarakat.
Setelah disahkan di tingkat pleno tingkat satu, RUU KIA akan dibawa ke paripurna terdekat untuk disahkan menjadi UU. Sementara, paripurna terdekat dijadwalkan bakal kembali digelar pada penutupan masa sidang jelang reses lebaran awal April mendatang.****