Zainuddin Maliki Prihatin Penggunaan Bahasa Daerah Kurang Diminati Generasi Milenial

Zainuddin Maliki Prihatin Penggunaan Bahasa Daerah Kurang Diminati Generasi Milenial

Fajarasia.id – Tim Komisi X DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik (Kunsfik) Bidang Kebudayaan ke Kota Serang, Banten, dalam rangka meninjau implementasi UU Pemajuan Kebudayaan mengenai objek pemajuan kebudayaan bahasa. Dalam kesempatan itu, Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki menilai pihaknya ingin memfokuskan bagaimana Pemkot Serang memajukan, mengaktualisasikan, dan merevitalisasi bahasa daerah, khususnya Jawa Serang.

Menurutnya, secara umum, perhatian masyarakat terhadap bahasa daerah ada kecenderungan untuk melemah. Hal ini terkonfirmasi dari kajian yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Bahwa, bahasa daerah itu sebagai suatu bentuk kearifan lokal itu dimiliki oleh orang-orang tua atau generasi kolonial. Sebaliknya, bagi generasi milenial sudah sangat berkurang memahami dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar mereka.

“Ini menurut saya harus menjadi perhatian. Karena bahasa daerah sesungguhnya merupakan akar jati diri bangsa kita. Jadi kita jangan sampai mengalami tercerabut dari akar budaya kita,” jelas Zainuddin kepada Parlementaria, di sela-sela pertemuan, di Serang, Banten, Kamis (21/3/2024).

“Karena bahasa daerah sesungguhnya merupakan akar jati diri bangsa kita. Jadi kita jangan sampai mengalami tercerabut dari akar budaya kita”

Menurut Politisi Fraksi PAN itu, Bahasa merupakan gambaran dari budaya masyarakat. Jadi, pilihan bahasa yang dipakai mencerminkan budaya. Bahasa Indonesia, misalnya, adalah bahasa yang menggambarkan corak budaya yang egaliter dengan derajat yang sama.

“Sehingga kalau sebut orang kedua relatif sama, misalnya dengan istilah engkau, kamu, dan anda. Ini relatif egaliter. Tapi kalau bahasa daerah, itu hierarkinya lebih jelas. Kalau bahasa Jawa yang saya tahu, untuk menyebut diri kita sendiri kalau menggunakan Bahasa Jawa ada kulo, itu bahasa yang paling rendah, kromo yang paling rendah. Kemudian ada kawulo, kromo madyo. Kemudian ada dalem, kromo yang paling tinggi. Ini mengajarkan kepada kita menghargai orang lain yang lebih tua, senior, dan sebagainya. Ini mengajarkan etika yang sangat bagus,” jelas doktor dari Universitas Airlangga tersebut.

Pembelajaran berbahasa daerah yang menghargai orang lain ini, menurutnya, menjadi relevan ketika masyarakat sedang mengalami krisis etika. Rasa menghargai martabat orang lain yang sedang hilang dalam situasi seperti ini sangat bermanfaat utnuk merevitalisasi bahasa daerah.

“Dari bahasa daerah kita diperkenalkan untuk menghargai orang lain. Cara menghadapi sesama, menghargai senior, masyarakat dan bernegara ini. Dengan begitu, akan lahir manusia Pancasila yang akan menerapkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” tutupnya.

Diketahui, salah satu implikasi positif dari lahirnya UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Indonesia saat ini telah memiliki strategi kebudayaan yang diterbitkan melalui peraturan presiden (Perpres) Nomor 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Selain itu, dalam APBN juga telah dicantumkan mengenai dana abadi kebudayaan. Dengan adanya strategi kebudayaan dan dana abadi kebudayaan tersebut, menjadi suatu langkah maju dalam menerjemahkan sekaligus melaksanakan amanat konstitusi untuk memajukan kebudayaan di Indonesia.***

Pos terkait