Fajarasia.id – Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut biaya produksi yang mahal serta rantai distribusi beras yang panjang, menyebabkan petani Indonesia memiliki pendapatan rendah. Meski, faktanya harga beras di Indonesia tergolong mahal.
Ketua Departemen Luar Negeri SPI, Arifin Zainal Fuad, mengatakan biaya produksi yang tinggi di antaranya disebabkan masalah pupuk yang tak kunjung selesai. Sementara rantai distribusi begitu panjang dan petani tidak memiliki akses terhadap pasar secara langsung.
“Petani terkadang tidak menikmati harga gabah yang wajar, apalagi beras, karena kebanyakan sudah dipatok harganya oleh para pengepul (tengkulak). Petani karena butuh uang untuk hidup dan bertani, mereka meminjam uang ke tengkulak dengan bayar nanti pakai gabah yang harganya sudah dipatok oleh tengkulak pada saat meminjamkan uang,” katanya Kamis (26/9/2024).
“Dari tengkulak atau pengepul baru ke penggilingan, lanjut ke distributor, baru ke pedagang beras di pasar induk. Dari sana baru ke pasar-pasar tradisional atau modern dan ke konsumen.”
SPI, katanya, menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah membantu para petani yang disatukan dalam kelompok tani untuk memiliki penggilingan beras. Dengan begitu mereka punya akses langsung ke pasar dan menikmati harga beras yang mahal di tingkat konsumen.
“Dengan demikian petani akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi. Maka mereka tidak perlu lagi lari ke pengepul atau tengkulak ketika membutuhkan uang,” katanya.
“Hal lain yang perlu ditangani adalah masalah pupuk. Jangan sampai kerika musim tanam pupuk menghilang dan petani harus membeli dengan harga kebih mahal.”
Sementara, Dosen Departemem Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Amzul Rifin mengatakan kunci agar pendapatan petani Indonesia lebih baik adalah peningkatan produktivitas. Hal itu, kata dia, bisa dilakukan dengan penggunaan tehnologi pertanian yang lebih maju.
“Mulai dari pengolahan lahan, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk yang lebih tepat dan efisien, sampai pada masa panen, penggilingan dan penjualan. Hal ini bisa dilakukan jika pertanian Indonesia dikelola secara profesional seperti negara lain yang pertaniannya sudah maju,” katanya dalam kesempatan sama.
Dia menyinggung soal konsep korporasi pertanian yang sudah digaungkan Presiden Jokowi sejak lama. Sayangnya, hal itu tidak terwujud sebagaimana yang sudah direncanakan Kementan sebagai tindaklanjut arahan presiden karena kendala teknis lapangan.
Korporasi Petani merupakan salah satu Program Kementerian Pertanian, sebagai bentuk tindak lanjut dari arahan Presiden RI meminta jajaran pemerintah untuk fokus tingkatkan kesejahteraan petani, dengan mengubah pola kerja petani menjadi lebih modern melalui konsep ‘korporasi petani’. Arahan Presiden Jokowi ditindaklanjuti oleh Kementerian Pertanian, dimana sejak 18 April 2018, secara resmi menetapkan Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani melalui Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 18/PERMENTAN/RC.040/4/2018.
Korporasi Petani sebagai salah satu upaya membantu kelompok petani dalam jumlah besar dan membekali kelompok petani tersebut dengan manajemen, aplikasi, serta cara produksi dan pengolahan yang modern. Dengan begitu harapanya petani Indonesia akan mendapat keuntungan lebih besar.
Sebelumnya, Bank Dunia menyebutkan, harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global. Harga beras di Indonesia juga disebut-sebut konsisten paling mahal di kawasan ASEAN.
Namun, pendapatan rata-rata petani justru tidak sebanding dengan melonjaknya harga beras. Hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari 1 dollar AS atau sekitar Rp15.199 per hari.
Artinya, pendapatan petani lokal hanya mencapai 341 dollar AS. Atau kalau dikurskan hanua Rp5,2 juta per tahun.****