Fajarasia.id – Kasus korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) mestinya tetap digelar di pengadilan umum, bukan pengadilan militer, meski penanganan penyidikannya nanti dilakukan di Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Sebelumnya, KPK menggelar OTT terhadap pejabat Basarnas. Kasus ini berbuntut polemik akibat protes pihak TNI dan sikap minta maaf KPK.
Peneliti di Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenurrohman menuturkan pengadilan yang menggarap kasus ini mestinya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Pertimbangan utamanya adalah pihak atau institusi mana yang mengalami kerugian buntut korupsi ini.
“Kalau kasus Basarnas ini kan kerugiannya di Basarnas gitu ya, kerugiannya di bidang SAR, sehingga ini bukan kerugian di lingkungan militer. Sehingga seharusnya ini diadilinya di lingkungan pengadilan umum,” jelas Zaenurrohman, dalam keterangannya, yang diterima Sabtu (30/7).
Terkait alasan KPK yang sempat jalan sendiri di kasus Basarnas, dia menduga lembaga antirasuah melihat riwayat penanganan kasus korupsi yang melibatkan militer sebelumnya.
Contohnya, kasus suap di Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW)-101.
Pada dua kasus ini, katanya, KPK kemungkinan merasa tak bisa maksimal menanganinya lantaran penggarapannya dipecah-pecah di dua lembaga terpisah.
“Mungkin KPK menganggap bahwa tidak lancar ketika misalnya ditangani sendiri-sendiri. Sehingga kemudian mungkin barangkali KPK untuk kasus Basarnas ini menetapkan tersangka sendiri,” kata Zaenur.
Jejak rasuah di Bakamla menyangkut suap oleh PT Merial Esa terkait proyek pengadaan monitoring satelit dan drone dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.
Puspom TNI kala itu menetapkan status tersangka kepada salah seorang perwira tingginya, Laksamana Pertama Bambang Udoyo yang diperbantukan menjadi Direktur Data dan Informasi Bakamla.
KPK sementara itu menetapkan status tersangka pada Ketua Unit Layanan Pengadaan Bakamla, Leni Marlena dan Anggotanya Juli Amar Ma’ruf.
Dalam kasus korupsi pembelian helikopter AW-101 yang melibatkan PT Diratama Jaya Mandiri, Puspom TNI menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap lima tersangka yang terdiri dari unsur militer tahun 2021 lalu.
Sementara, di kasus yang sama KPK menetapkan satu orang sebagai tersangka dari unsur swasta atas nama Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, 16 Juni 2017.
Adapun di pada kasus pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan TA 2023, KPK menetapkan status tersangka kepada Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi dan Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Tim koneksitas
Meski begitu, Zaenur menilai KPK mestinya tetap berkoordinasi dengan TNI.
“Menurut saya seharusnya bukan seperti itu (menetapkan tersangka sendiri), seharusnya ketika belajar dari sejarah penanganan perkara suap Bakamla dan pengadaan Helikopter Agusta Westland dianggap penanganan perkaranya itu tidak optimal,” ujar dia.
“Seharusnya yang dilakukan adalah membentuk tim koneksitas. Tim bersama ya, komposit atau hybrid,” lanjutnya.
“Ketika melakukan OTT, boleh KPK ikut menangkap sipil dan militernya, boleh. Tetapi kemudian selanjutnya sipilnya boleh langsung ditetapkan tersangka dalam waktu satu kali 24 jam, militernya serahkan kepada Pom TNI. Tetapi idealnya adalah sebelumnya juga sudah ada komunikasi, sehingga bisa dibentuk tim koneksitas itu tadi,” terang Zaenur.
Tim koneksitas terdiri dari unsur KPK, Puspom TNI, dan auditor militer yang memiliki kewenangan di ranah penyidikan hingga penuntutan. Pembentukan tim ini diatur dalam Pasal 89, 90, 91 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).***