Fajarasia.id – Pengaat Forum Peduli Demokrasi Indonesia, Arief Hidayat memandang Demokrat akan tenggelam dengan hengkangnya beberapa kasder dan pengurus partai mulai dari DPP hingga ke PAC di berbagai Daerah di Indonesia.
Menurut Arief Hidayat, Partai Demokrat ini awalnya begitu digdaya hingga Pemilu 2009. Baru setahun berdiri saja sudah berhasil mendapatkan 57 kursi di DPR atau meraih 7,45 persen suara.
Hebatnya lagi, Partai Demokrat juga mampu mengantarkan kadernya SBY terpilih menjadi presiden dua periode.
Puncaknya, pada Pemilu 2009 partai ini memperoleh 150 kursi di DPR (26,4 persen) dengan total raihan suara 20,4 persen
Bahkan si Ibas yang tidak jelas rekam jejaknya, apalagi prestasinya bisa memperoleh suara terbanyak kala itu lantaran mencalonkan diri lewat Partai Demokrat.
Lantas, apa yang membuat partai berwarna biru tersebut begitu cepat mencapai puncak kejayaan Mengalahkan PKS, PAN dan Gerindra?
Slogan dan iklan ‘katakan tidak pada korupsi’ saat itu bertebatan baik di pojok pojok kota bahkan menjamur di pepohonan taman taman kota seluruh indonesia dan bahkan di Surat Kabat media Cetak maupunh online, TV dan Radio.
“Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu. Katakan tidak pada korupsi,” demikian sepenggal pernyataan yang ada di iklan itu.
Dan kalau dibandingkan dengan partai-partai yang lain kala itu, hanya Partai Demokrat yang berani secara terang-terangan mengatakan akan terus melawan korupsi tanpa pandang bulu.
Hal ini yang kemudian membuat masyarakat berbondong-bondong memilih partai besutan SBY tersebut.
‘TAPI BOHONG,’ demikian judul lagu yang dinyanyikan oleh Popo Gingsul.
Ternyata katakan tidak pada korupsi itu hanya strategi marketing saja bro n sis untuk menarik minat orang memilih Partai Demokrat. Slogan itu tidak benar-benar terpatri di hati dan pikiran kader Demokrat.
Terbukti kok, orang yang menjadi bintang iklan ‘katakan tidak korupsi’ itulah yang justru korupsi.
Angelina Sondakh bintang iklan yang pertama dicyduk KPK. Ia diketahui menerima suap terkait pembahasan anggaran pembangunan Wisma Atlet Palembang.
Karena tidak jujur itu pun, Angie harus menerima resiko yang sangat besar yakni diberhentikan dari anggota DPR dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Selanjutnya, disusul oleh Andi Mallarangeng yang juga ditangkap KPK. Ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus proyek Wisma Atlet Hambalang.
Karir yang dia bangun selama bertahun-tahun pun, hancur seketika karena korupsi tersebut.
Bahkan Andi terpaksa harus mengundurkan diri dari kursi Menpora yang sebelumnya dipercayakan SBY kepadanya.
Lagi-lagi karena tidak jujur.
Yang terakhir, bintang iklan ‘katakan tidak pada korupsi’ dicyduk KPK adalah Anas Urbaningrum. Ia berurusan dengan lembaga anti rasuah itu juga karena menerima gratifikasi dalam proyek Hambalang.
Tidak pelak, pasca ketahuan korupsi tersebut masa depan Anas jadi suram seketika.
Padahal karirnya moncer banget kala itu. Mulai dari menjabat sebagai Ketua PB HMI, anggota Presidium KAHMI, anggota KPU, anggota DPR, hingga terakhir ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Karena pencapaiannya itu pula, Anas dianggap sebagai politisi muda yang meyakinkan dan cerdas. Sehingga ia diprediksi akan jadi pemimpin masa depan atau jadi Presiden Republik Indonesia berikutnya menggantikan SBY.
Eh ternyata korup juga Gagal deh jadi pemimpin masa depan.” Ujar Ketua Lembaga Forum Peduli Demokrasi Indonesia, Arief Hidayat , Jumat (6/1/2023).
Dan tidak hanya 3 orang itu lho kader Demokrat yang korupsi. Masih banyak lagi yang lain.
Akibatnya apa? Pada Pemilu 2014 perolehan kursi di DPR dan suara Partai Demokrat merosot tajam setajam pisau cutter.
Dari yang awalnya berada di posisi pertama merosot menjadi posisis ke-4 dari 10 partai yang lolos ke parlemen. Dan dari yang awalnya mendapat 150 kursi di DPR menjadi hanya mendapat 61 kursi saja.
Ngeri! Ternyata dampak korupsi tidak hanya ke pelaku tapi juga merembet ke partai pengusungnya.
Dan kalau dipikir-pikir, wajar juga sih Partai Demokrat diberi sanksi sosial seperti itu. Karena kadernya korupsi berjamaah bro. Kalau dihitung total duit negara yang telah mereka tilep, bisa jadi sudah mencapai ratusan miliar rupiah.
Lanjut Arief, Sesuai prediksi, pada Pemilu 2019 perolehan suara Partai Demokrat turun lagi. Dari posisi ke-4 menjadi posisi ke-7 partai yang lolos ke senayan.
Padahal kala itu yang jadi Ketua umum masih Esbeye lho, yang diagung-agungkan sebagai ahli strategi.
Apalagi sekarang Partai Demokrat dipimpin oleh AHY. Yang jadi Ketum partai berkat giveaway dari Bapaknya. Makin modyar partai berlambang bintang Mercy.
Akibatnya apa? Jadilah Partai Demokrat dipimpin oleh politisi karbitan digoreng dadakan tiga lima ribuan.
Lihat saja kelakuannya. Hendak dikudeta oleh kader Demokrat yang lain malah mengirim surat permintaan klarifikasi kepada Presiden Jokowi. Dia yang mau jadi Cawapres tapi yang dibangga-banggakan justru prestasi Bapaknya. Bayu Airlangga yang terpilih sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Jatim lewat jalur resmi yakni Musda tapi yang dilantiknya adalah Emil Dardak. Sukamto yang didukung oleh mayoritas PAC sebagai calon Ketua DPC Partai Demokrat Samarinda tapi malah Berkati yang ditunjuk. Dan lain-lain.
Jadi namanya saja Partai Demokrat, ternyata demokrasi tidak benar-benar berjalan di sana.
Wajar bila kemudian AHY ditolak keras jadi Cawapres Anies oleh Paloh. Karena orangnya saja kayak gitu. Sudah manja, otoriter pula.
Ini juga yang menjadi tanda-tanda alam kalau tidak lama lagi Partai Demokrat akan karam.
Dan yang namanya kader, gak mau dong naik perahu atau partai yang mau karam di lautan. Itulah kenapa banyak yang mengundurkan diri dari partai tersebut dan pindah ke partai lain.
Sebagai contoh yang kini lagi viral Soekarwo. Eks Gubernur Jatim itu kini tidak lagi jadi kader Partai Demokrat tapi sudah pindah ke Golkar.
Sebelumnya, menantunya Bayu Airlangga yang diperlakukan tidak adil oleh AHY di Musda Partai Demokrat Jatim juga sudah berlabuh ke partai berlambang pohon Beringin itu.
Kemudian, beberapa kader yang lain juga sudah banyak yang meninggalkan Partai Demokrat. Mulai dari TGB yang kini jadi kader Perindo, Ruhut Sitompul bermigrasi ke PDIP, Wahidin Halim mengungsi ke NasDem.
Dan ada banyak lagi kader di daerah yang juga resign dari Partai Demokrat.
Sementara, kader Demokrat seperti Cipta Panca Laksana dan Ardi Wirdamulia malah sibuk nyinyirin Ganjar dan Jokowi. Di saat kapalnya mau karam itu.
Mantan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo (Pakde Karwo) meninggalkan Partai Demokrat dan kembali ke Partai Golkar.
Kepindahan Soekarwo pun dinilai akan membuat dampak signifikan terhadap peta politik di Jawa
Timur.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno pun menyebut, kepindahan
Soekarwo sedikit banyak pastinya berpengaruh pada peta politik di Jawa Timur.
Apalagi, pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu memiliki ketokohan yang kuat di masyarakat Jatim.
Sehingga, akan merubah peta politik Partai Demokrat di ujung timur pulau Jawa tersebut.
“Aapun judulnya Pak De Karwo tokoh yang kuat dan mengakar di Jatim yang punya penetrasi kuat ke
akar rumput,” kata Adi Prayitno saat dihubungi,Jumat (6/1/2023).
Adi juga melihat, bahwa kepindahan Pakde Karwo merupakan kerugian besar bagi Partai Demokrat.
Karena, Pakde Karwo bisa membawa gerbong besarnya ke Golkar bukan ke Demokrat lagi.
“Demokrat perlu gerak cepat nenutup celah yang ditinggalkan Pakde Karwo ini,” terang Adi.
Dia juga menilai, bahwa fenomena tokoh pindah partai akan terjadi kembali jelang Pemilu 2024.
“Ke depan, pasti akan ada lagi tokoh-tokoh penting yang akan pindah partai. Ini jadi fenomena jelang
pemilu 5 tahunan,” jelas Adi.
Sementara, Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam menilai
masuknya Pakde Karwo ke Golkar akan berpengaruh besar terhadap perubahan peta kekuatan
partai politik di Jawa Timur (Jatim).
“Kehadiran Pak Karwo memang sebagai tokoh dan patron akan berpengaruh di Jawa Timur, tapi
kalau level nasional ya tidak terlalu menurut saya,” kata Surokim.
Surokim mengatakan Pakde Karwo memiliki pengaruh signifikan di Jatim.
Tercatat Pakde Karwo tercatat pernah menduduki jabatan sebagai Gubernur Jatim selama dua
periode.
“Kalau di Jatim signifikan karena memang beliau jadi gubernur 2 kali, kontestasi Pilgub 2 kali,
jaringan, pengalaman lapangan, kontes untuk meraih vooters, memang beliau punya basis,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Golkar dinilai mendapat energi baru dengan masuknya Pakde Karwo.
“Untuk kontestasi politik di Jawa Timur, kehadiran Pakde Karwo saya kira membawa energi baru
untuk Golkar yang baru saja ditimpa masalah tangkap tangan KPK,” ujarnya.
Pakde Karwo mempunyai basis massa di Jatim bagian barat yang kerap disebut sebagai wilayah
Mataraman. Golkar dinilai mendapat berkah dengan bergabungnya politikus senior itu.
“Bagi Golkar Jawa Timur itu tentu menjadi berkah. Karena bagaimanapun Pakde Karwo punya
jaringan yang mengakar di Jatim, khususnya di Mataraman, Jatim wilayah barat,” pungkasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono mengatakan berdasarkan informasi yang didapatnya bahwa
Soekarno akan menjabat sebagai salah satu Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar.
“Beliau saat ini ditugaskan masuk di dewan pakar. Informasi terkahir dia akan menjabat sebagai
salah satu Wakil Ketua Dewan Pakar,” kata Dave, beberapa waktu lalu.
Anggota DPR RI itu menyebut pihaknya menyambut baik atas bergabungnya Soekarwo.
“Ini adalah satu keputusan yang baik dan kita menyambut (baik),” ujar Dave.
Dave menuturkan pengalaman dan pengetahuan Soekarwo akan bermanfaat bagi Partai Golkar
untuk kemenangan partainya dan Airlangga Hartarto di 2024.
“Semangat beliau, pengetahuan, dan juga pengalaman beliau tentu akan bermanfaat untuk
kemenangan Partai Golkar dan menuju kemenangan Pak Airlangga Hartarto dan juga dalam
pengabdian Partai Golkar pada bangsa dan negara,” ucap Dave.
Selain itu, ia menerangkan Soekarwo bukan asing lagi bagi Partai Golkar. Sebab, sebelumnya pernah
menjadi Sekretaris Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Jawa Timur.
“Pernah menjabat juga sebagai Sekretaris AMPI Jawa Timur,” ungkap Dave.
Profil Soekarwo
Sebelum pindah ke Golkar, Soekarwo adalah pengurus Partai Demokrat.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur periode 2010–2019.
Kemudian ia menjadi Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat pada periode 2013–2015.
Pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu juga pernah menjadi Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat
periode 2015–2019.
Sebelum terjun ke politik, Soekarwo dikenal sebagai birokrat tulen. Pria yang kini menjadi Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden sejak 13 Desember 2019 itu adalah mantan Gubernur Jawa Timur
(Jatim) selama 2 periode.
Soekarwo menamatkan pendidikannya di SD Negeri Palur Madiun (1962), SMP Negeri 2 Ponorogo
(1965), serta SMAK Sosial Madiun (1969).
Gelar sarjana hukum diperolehnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (1979).
Sementara gelar pascasarjana hukum di Universitas Surabaya (1996), dan gelar doktornya di
Universitas Diponegoro Semarang (2004).
Sebelum menjadi Gubernur Jatim, Soekarwo juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Jatim
sejak 2003 hingga 2008. Ia kemudian sebagai Gubernur Jatim sejak 12 Februari 2009 hingga 12
Februari 2019.
Dalam dua kali pertarungan di Pilgub Jatim, Soekarwo yang berpasangan dengan Saifullah Yusuf
berhasil mengalahkan Khofifah Indar Parawansa yang kini menjadi penggantinya.****