Fajarasia.id – Tokoh penting di Indonesia yang tidak banyak diketahui yakni Surastri Karma Trimurti adalah salah satu pahlawan nasional wanita Indonesia yang berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
S.K Trimurti merupakan istri dari Sayuti Melik, seorang tokoh yang mengetik naskah proklamasi.
Selama masa hidupnya, dia bekerja sebagai wartawati, guru, sekaligus penulis.
Pekerjaannya di zaman itu sangat berbahaya karena dia berusaha menulis berita untuk menyadarkan bangsa Indonesia bahwa negara sedang dijajah.
Alhasil, dia tertangkap oleh penjajah dan dipenjara karena telah menulis banyak surat kabar untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Hari Pahlawan pada 10 November mendatang menjadi momen mengenang pahlawan Tanah Air, salah satunya pahlawan dari Boyolali yakni S.K. Trimurti.
Pahlawan yang cukup dikenal dari Boyolali yakni Surastri Karma Trimurti atau S.K. Trimurti. Profile S.K.
Trimurti dijelaskan dalam skripsi berjudul Peran Surastri Karma Trimurti Dalam Perkembangan Jurnalistik Di Indonesia Tahun 1933-1947 oleh Risa Septiani pada 2019.
S.K. Trimurti lahir pada 11 Mei 1912 di Boyolali pada Sabtu Kliwon. S.K. Trimurti memiliki ayah yang bernama R.Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan ibunya bernama R.A. Saparinten Mangunbisomo.
Gelar R.Ng. dan R.A. di depan nama orang tua S.K. Trimurti tersebut jelas menunjukkan bahwa dirinya berasal dari keluarga keraton.
Baca juga: Peristiwa di Hotel Yamato Picu Pertempuran 10 November
Dilansir dari situs Perpusna, S.K. Trimurti merupakan sosok pahlawan berdarah biru, kedua orang tuanya merupakan abdi dalem Kraton Kesunanan Surakarta. Ayah S.K. Trimurti adalah seorang Carik yang kemudian meningkat menjadi Asisten Wedana atau Camat.
Ndoro Seten merupakan panggilan hormat kepada ayah S.K. Trimurti. Keluarganya termasuk dalam kelompok keluarga bangsawan atau priyayi.
S.K. Trimurti merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Kakaknya bernama Suranto, sementara adik-adiknya bernama Sumakti, Sunaryo, dan Sumanto. Dalam keseharian di keluarganya, S.K. Trimurti mendapat panggilan Trimurti atau Tri saja.
Dengan dikelilingi banyak saudara membuatnya belajar untuk berbagi sejak kecil. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan sebagai anak-anak, dirinya hidup berbaur dengan anak-anak lain yang berasal dari keluarga biasa.
S.K. Trimurti kemudian mulai terlihat ketajaman pikirannya sejak masih kecil. Sejak kecil sudah bisa menyadari perbedaan antara dirinya dengan anak-anak lain di sekitarnya, baik dari segi pakaian mau pun cara bertingkah laku. Namun, terlalu kecil untuk memahami hal itu.
Pendidikan S.K. Trimurti dimulai dari sekolah Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School (TIS) semacam Sekolah Dasar (SD). Sekolah tersebut hanya memiliki masa pendidikan tiga tahun karena tersedia di tingkat kabupaten.
Pada 1926 sang pahlawan dari Boyolali ini melanjutkan sekolah di Meijes Normaal School (MNS), di sana S.K. Trimurti sekolah selama selama empat tahun.
Sekolah ini mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama selama masa pendidikan berlangsung, membuat dirinya harus rela berpisah dengan kedua orang tuanya untuk merantau di Solo.
Sebagai lulusan terbaik, dirinya langsung bekerja di Sekolah Latihan, namun ia tidak nyaman karena teman-teman guru di Sekolah Latihan sudah berumur di atasnya memandang dirinya sebelah mata dan dianggap tidak pantas karena usia yang masih muda.
Kemudian ia pindah ke Sekolah Ongko Loro di Alun-alun Kidul Kota Solo, namun di sekolah ini dirinya tidak menemukan ketenangan. Lalu pindah ke Meisjesschool di Banyumas untuk mengajar.
Pahlawan dari Boyolali S.K. Trimurti aktif dalam perkumpulan organisasi yang menambah wawasan dan pertemanan. Di situlah ia pertama kali belajar merangkai kalimat walaupun hanya membuat surat undangan perkumpulan.
Pada 1932, ia mendengar kabar dari temannya bahwa Soekarno akan mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah, yaitu Purwokerto yang menjadi bagian dari Keresidenan Banyumas untuk membuka rapat umum Partindo.
Dirinya menghadiri rapat tersebut untuk mendengar pidato Soekarno. Sejak saat itu ia merasa tergerak hatinya untuk ikut melawan anti imperialisme dan anti koloniaslisme.
Pada 1933, pahlawan dari Boyolali S.K. Trimurti memutuskan untuk berhenti mengajar dan bergabung dengan Partindo Cabang Bandung. Di sanalah ia menyebarluaskan pengaruhnya dengan surat kabar, yaitu Fikiran Rakyat dan Suluh Indonesia Muda.
Pada saat itu, Soekarno meminta langsung kepada S.K. Trimurti untuk menuangkan tulisannya di Fikiran Rakyat. Atas kepercayaan Soekarno itulah yang membawanya berkarir di bidang Jurnalistik.
S.K. Trimurti menikah dengan pahlawan Sayuti Melik dan dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Musafir Karma Budiman dan Heru Baskoro.
S.K. Trimurti meninggal pada usia 96 tahun, tepat saat bangsa Indonesia merayakan 100 tahun hari kebangkitan Nasional. Jenazah pahlawan dari Boyolali ini kemudian disemayamkan di Gedung Pola lalu dimakamkan di Taman Pemakaman Kalibata Jakarta Selatan.*****