Fajarasia.id – Donald Trump terus teratas dalam tingkat elektabilitas bakal calon Presiden Amerika Serikat untuk Pemilu 2024 dari Partai Republik, yang awal tahun depan akan memasuki masa primary (pemilihan pendahuluan) dan kaukus mulai 15 Januari di Iowa.
Dari berbagai jajak pendapat, termasuk Reuters/Ipsos dan Economist/YouGov, Trump mengungguli semua bakal calon presiden lainnya dari Partai Republik, dengan kisaran 41-55 persen.
Gubernur Florida Ron DeSantis dan mantan Duta Besar AS Nikki Haley sejauh ini menjadi dua pesaing terkuat Trump.
Bahkan jika pemilu diadakan saat ini, Trump diprediksi mengalahkan petahana Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat.
Menurut jajak pendapat New York Times dan Siena College, Trump mengungguli Biden dengan perbandingan 46 persen melawan 44 persen.
Dalam jajak pendapat lain yang diselenggarakan oleh Morning Consult/Bloomberg News, Trump mengungguli Biden dengan 47 persen melawan 42 persen.
Oleh karena itu, wajar jika tim sukses Donald Trump optimistis mantan Presiden Amerika Serikat itu akan mulus mendapatkan tiket calon presiden dari Partai Republik pada Konvensi Partai Republik pada pertengahan Juli tahun depan.
Mereka juga yakin Trump akan mengalahkan Biden pada 5 November 2024 ketika hari pemungutan suara untuk Pemilu 2024 digelar.
Namun, Trump sedang terganjal kasus hukum yang bisa mengubur impiannya menduduki lagi Gedung Putih yang selama satu periode didudukinya setelah memenangi Pemilu 2016.
Trump terjerat empat kasus besar yang persidangan baru digelar pada tahun depan.
Dua dari empat perkara itu adalah kasus tingkat nasional atau federal, sedangkan dua lainnya tingkat negara bagian.
Vonis di Colorado
Kasus pertama adalah dakwaan bersekongkol membatalkan hasil Pilpres 2020. Menurut laman The Atlantic, kasus ini akan disidangkan awal Maret tahun depan.
Kemudian, pada 25 Maret 2024, Trump akan disidangkan di Pengadilan Distrik Manhataan di Negara Bagian New York dalam kasus pembayaran uang tutup mulut kepada seorang bintang film porno menjelang Pilpres 2016.
Lalu, pada 20 Mei 2024, Trump akan disidangkan di Florida dalam kasus menyimpan secara ilegal dokumen-dokumen rahasia negara setelah tak lagi menjadi presiden. Dia juga didakwa menyembunyikan dokumen-dokumen itu dari penyidik negara.
Kasus keempat adalah dakwaan berusaha membatalkan hasil Pilpres 2020 di Georgia yang menjadi satu-satunya negara bagian yang menggelar pemilu susulan akibat ketatnya perolehan suara Pemilu 2020 di negara bagian itu.
Dalam kasus Georgia, Trump didakwa memerintahkan Sekretaris Negara Bagian Georgia Brad Raffensperger agar “mencari” 11.000 suara. Ini menjadi indikasi adanya campur tangan politis guna menentukan hasil pemilu di Georgia.
Selain kasus-kasus itu, beberapa negara bagian menggelar sendiri persidangan terkait persekongkolan membatalkan hasil Pemilu 2020, salah satunya negara bagian Colorado.
Pada 19 Desember 2023, Mahkamah Agung Colorado mengeluarkan putusan yang menyatakan Trump didiskualifikasi dari pemilu 2024 yang diadakan di negara bagian Coloroda.
Mahkamah Agung Colorado menyimpulkan Trump terlibat dalam serangan ke gedung wakil rakyat, Capitol, pada 6 Januari 2021 untuk membatalkan hasil Pemilu 2020. Serangan ini dilakukan oleh para pendukung Trump.
Trump telah mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat yang menjadi pengadilan tertinggi negara ini.
Putusan di Colorado itu bisa melukai citra politik Trump dan sebaliknya menguntungkan pesaing-pesaingnya dalam Partai Republik, dan tentu saja bagi Joe Biden, sang petahana dari Partai Demokrat.
Namun, menurut para analis politik, baik dari kubu Demokrat maupun Republik, vonis itu justru akan semakin membakar militansi pendukung Trump yang akan menilai tokoh pilihannya telah menjadi korban proses hukum yang partisan.
Cenderung partisan
Sistem hukum di Amerika Serikat sendiri terkesan partisan karena hakim-hakim umumnya memang dipilih dari kalangan Demokrat atau Republik, atau bisa juga karena diangkat oleh Demokrat atau Republik.
Adapun jaksa agung, baik pada tingkat negara bagian maupun federal, adalah pejabat negara yang diangkat oleh pemerintah negara bagian atau federal sehingga tak bisa disebut partisan dalam kasus-kasus bernuansa politik.
Sementara itu, pandangan pemilih Trump bahwa mantan Presiden AS itu korban sistem hukum yang partisan, bisa membuat Trump makin percaya diri dalam meraih dukungan sebesar mungkin pada proses primary dan kaukus tahun depan.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters/Ipsos, sebagian besar atau 70 persen pemilih Partai Republik tak memercayai dakwaan di Mahkamah Agung Colorado itu.
Trump sendiri yakin bandingnya kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat akan dikabulkan mengingat enam dari sembilan hakim agung di sana adalah hakim konservatif yang biasanya memihak Republik. Tiga hakim agung lain adalah hakim liberal yang biasanya memihak Demokrat.
Komposisi hakim agung 6:3 ini terjadi setelah Trump memasukkan tiga hakim konservatif semasa berkuasa, termasuk seorang hakim agung konservatif pengganti seorang hakim liberal yang meninggal dunia. Secara etis, Trump seharusnya mempertahankan komposisi hakim agung 5:4 sehingga putusan Mahkamah Agung menjadi tak terkesan partisan.
Perubahan komposisi hakim agung inilah yang menjadi salah satu sumber kekhawatiran sebagian kalangan di AS bahwa Trump cenderung melawan demokrasi.
Putusan Mahkamah Agung Colorado itu sendiri mempengaruhi para pemilih yang tak terkait baik dengan Republik maupun Demokrat.
Berdasarkan jajak pendapat sama yang diadakan Reuters dan Ipsos dari 5 sampai 11 Desember 2023, 57 persen pemilih suara mengambang itu percaya Trump telah memicu serangan 6 Januari 2021 di Capitol.
Menarik diikuti
Sebaliknya Ron DeSantis dan Nikki Haley, yang menjadi dua pesaing terkuat Trump, berusaha menjauhi kesan memanfaatkan vonis mahkamah Colorado itu.
“Saya akan mengalahkan Donald Trump dengan cara saya sendiri. Saya tak butuh hakim untuk membuang dia dari surat suara,” kata Haley kepada Fox News seperti dilaporkan Reuters.
Seperti di Indonesia saat ini, iklim politik di Amerika Serikat tengah panas menjelang pemilu yang juga diadakan pada tahun depan.
Kubu Demokrat dan beberapa kalangan independen, serta sebagian kecil kalangan dalam tubuh Partai Republik, berusaha mencegah Trump agar tak lagi masuk Gedung Putih karena dianggap membahayakan demokrasi.
Sebagaimana dilakukan hampir seluruh politikus sipil di seluruh dunia, mereka melakukan hal itu dengan cara-cara hukum, kendati manuver itu membuat pendukung Trump menjadi beranggapan sistem hukum sudah sangat partisan.
Sayang, Trump sendiri melakukan hal sama saat mengabaikan etika dengan menambah lagi satu hakim agung konservatif saat sudah ada lima hakim agung konservatif dalam sistem sembilan hakim agung pada Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Namun, pertarungan di ranah hukum ini membuat dinamika demokrasi dan proses elektoral di Amerika Serikat justru semakin menarik untuk diikuti. Apalagi beberapa negara seperti Indonesia juga tengah memasuki proses pemilu.
Masa-masa lebih panas dalam Pemilu AS akan terjadi tahun depan ketika proses formal penjaringan bakal calon presiden dari Republik dimulai–dan saat bersamaan–proses hukum terhadap Trump berada pada fase menentukan.***