Fajarasia.id -Satelit LAPAN-A1/LAPAN-Tubsat telah mengorbit selama 18 tahun sejak diluncurkan pada 10 Januari 2007. Satelit ini merupakan satelit mikro pertama yang dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
LAPAN-A1 diluncurkan menggunakan Roket PSLV C-07 dari Sriharikota, India. Sebagai salah satu satelit Low Earth Orbit (LEO) tertua di dunia, LAPAN-A1 masih digunakan untuk melakukan riset dan eksperimen pengendalian satelit berorbit rendah.
Selain itu juga untuk riset komponen satelit. Seluruhnya itu dilakukan periset di Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN.
Citranya dapat digunakan untuk pemetaan wilayah. Misalnya analisis perubahan wilayah, pemantauan sumber daya alam dan lainnya.
LAPAN-A1 dikembangkan periset Indonesia bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin. Wahana tersebut dirancang berdasarkan satelit DLR-TUBSAT, namun menyertakan sensor bintang yang baru.
Satelit ini juga membawa satu kamera beresolusi tinggi 5 meter dengan lebar sapuan 3,5 kilometer serta satu kamera resolusi rendah 200 meter dengan lebar sapuan 81 kilometer. Berbentuk kotak dengan berat 57 kilogram dan dimensi 45x45x27 sentimeter.
Satelit LAPAN-A1 berada di orbit LEO pada ketinggian 630 kilometer, berfungsi sebagai satelit pengamatan bumi berbasis video kamera. Hingga saat ini LAPAN-A1 masih mampu mengorbit dan menerima sinyal dari stasiun bumi, meski beberapa muatan sudah tidak bekerja secara optimal.
Keberhasilan misi ini dilanjutkan dengan rancang bangun serta pengoperasian satelit-satelit berikutnya, seperti LAPAN-A2 di 2015 dan LAPAN-A3 di 2016. Kedua satelit ini makin memperkuat kemampuan Indonesia dalam penginderaan jauh, pemantauan maritim hingga dukungan komunikasi darurat saat terjadi bencana.
Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN, Wahyudi Hasbi, mengatakan salah satu alasan penting mengapa Indonesia perlu menguasai teknologi satelit karena semua negara maju sudah memanfaatkan teknologi ini dalam berbagai sektor.
Teknologi satelit tidak hanya terbatas pada perjalanan luar angkasa saja, tetapi juga memiliki peran yang sangat vital dalam mendukung ketahanan pangan dan energi, terutama dalam mencapai swasembada pangan.
“Dengan kemampuan satelit untuk memantau kondisi lahan, cuaca, dan pola tanam secara real-time, teknologi ini dapat membantu petani dalam meningkatkan hasil produksi dan efisiensi pertanian,” ujar Wahyudi.
Selain itu, Wahyudi menjelaskan satelit juga memainkan peran penting dalam manajemen sumber daya alam dan energi. Memastikan distribusi yang lebih merata serta pengelolaan yang lebih berkelanjutan.
Dengan demikian, teknologi satelit turut berkontribusi pada perekonomian. Ini dilakukan melalui pengembangan produk turunan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
“Sudah saatnya generasi muda Indonesia banyak terlibat dalam riset satelit. Salah satunya seperti Surya Satelit-1 (SS-1) yang diluncurkan awal tahun 2023, itu hasil skema kerja sama antara perguruan tinggi dan BRIN,” ujarnya.
Wahyudi menyampaikan, kehadiran satelit LAPAN-A1, LAPAN-A2 dan LAPAN-A3 baru permulaan. Indonesia perlu mengembangkan satelit-satelit operasional yang tidak hanya memperkuat pengelolaan SDA dan lingkungan, tetapi juga memperkuat ekonomi digital, ketahanan pangan serta posisi Indonesia dalam ekonomi global.
“Pembangunan satelit operasional membutuhkan kerja sama dengan mitra internasional yang memiliki teknologi kunci. Kolaborasinya tidak sebatas transfer teknologi, tetapi juga mendorong pembangunan satelit berteknologi tinggi di dalam negeri secara berkelanjutan,” katanya. ****