Fajarasia.id – Sawit Watch menyebut kemampuan penyerapan dari sawit tidak sebanding dengan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari alih fungsi lahan, terutama yang dilakukan di lahan gambut dan hutan di lahan mineral.
Seperti dikonfirmasi Wartawan Sabtu (11/1/2025), Achmad Surambo selaku Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan meski sawit sebagai tanaman memiliki kemampuan untuk menangkap karbon dioksida tapi pengalihan fungsi lahan untuk membuat perkebunan sawit berpotensi menghasilkan emisi GRK lebih besar dibandingkan kemampuan penyerapannya.
“Terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor artinya yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap. Simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut,” katanya.
Berdasarkan publikasi Sawit Watch, tanaman sawit dengan usia 25 tahun mampu menyerap karbon sebesar 39,94 ton per hektare (ha) atau setara dengan 146,58 ton karbon dioksida ekuivalen (CO2-eq). Bagian tanaman yang mampu menyerap karbon paling besar adalah batang sawit yang mencapai 29,13 ton per ha atau setara dengan 106,91 ton CO2-eq.
Sementara itu, aktivitas perkebunan sawit menghasilkan emisi karbon, baik yang berasal dari operasional perkebunan sawit maupun ketika perubahan simpanan karbon. Dalam penghitungan langsung aktivitas operasional dapat terjadi kehilangan sebesar 4.180-6.225 kg CO2-eq/ha/tahun serta perubahan simpanan karbonnya dapat memicu emisi GRK sebesar 680-96.000 kg CO2-eq/ha/tahun.
Tidak hanya itu, maksimum emisi dihasilkan sawit dalam menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum -115 ton CO2-eq. Hasil maksimum emisi dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan minimum -115 ton CO2-eq dan maksimum emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan mineral 835 ton CO2-eq serta minimum 175 ton CO2-eq.
Nilai terbesar dilihat di lahan gambut dengan hasil maksimum1835 ton CO2-eq dan minimum sebesar 1175 ton C02-eq. Tidak hanya itu, dampak alih fungsi lahan tidak hanya emisi GRK tapi juga potensi kehilangan keanekaragaman hayati.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong pertimbangan ulang rencana melakukan alih fungsi lahan dan secara khusus penambahan perkebunan sawit, mengingat berdampak pada deforestasi dan berpengaruh terhadap lingkungan.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni dalam pernyataan pada 30 Desember 2024 mengatakan ada rencana besar pemerintah memanfaatkan lahan hutan untuk kebutuhan pangan, energi, dan air. Menurut dia, pemerintah sudah mengidentifikasi 20 juta hektare kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.
Presiden Prabowo Subianto dalam pernyataan pada 30 Desember 2024 juga menyatakan Indonesia dapat menambah lahan perkebunan kelapa sawit, menyebutnya sebagai komoditas strategis.***