Herman Khaeron Temukan Potensi Penyimpangan Program Biodiesel B35

Herman Khaeron Temukan Potensi Penyimpangan Program Biodiesel B35

Fajarasia.id – Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengungkap potensi penyimpangan dalam program biodiesel B35. Menurutnya, ada pelanggaran dalam alokasi dana dalam bentuk subsidi kepada perusahaan sawit.

Herman merasa apa yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah jauh dari ruh pembentukan awal badan tersebut. Sejatinya, ia menyebut dana BPDPKS diperuntukkan bukan untuk mensubsidi harga biodiesel.

“BPDPKS sudah jauh dari ruhnya. Saya semakin aneh karena kok kalau melihat alokasi anggaran sekarang menyimpang, dari sebelumnya untuk peremajaan dan peningkatan produktivitas petani sawit malah sekarang lebih banyak digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel,” katanya , Rabu(8/2/2023).

Herman mengutip laporan keuangan BPDPKS 2021 yang komposisinya sudah sangat jauh, di mana Rp51 triliun untuk subsidi selisih harga biodiesel dan hanya Rp1,3 triliun untuk peremajaan lahan sawit.

Ia menegaskan aturan soal BPDPKS tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Kemudian, lahir Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

“Jenis kelamin BPDPKS ini gak jelas. Karena dia tidak masuk di Komisi IV, juga tidak masuk di Komisi VI. BPDPKS nyaris tidak ada pengawasan secara khusus terhadap pelaksanaan karena di bawah langsung Kemenko Perekonomian. Ini yang menurut saya pelanggarannya semakin jauh,” ungkap Herman.

“Kalau sekarang sebagian besar dananya digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel, sekali lagi saya pastikan ini adalah pelanggaran. Pelanggaran keuangan yang sesungguhnya sudah diamanatkan di dalam UU bahwa dana ini bukan untuk mensubsidi terhadap selisih harga biodiesel,” sambungnya.

Sementara itu, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman sempat menjelaskan bahwa fungsi mereka adalah membayar selisih harga indeks pasar (HIP) antara solar dan biodiesel yang ada. Jika harga biodiesel lebih tinggi dari solar, maka subsidi diberikan melalui BPDPKS alias badan tersebut yang membayar.

Eddy menyebut jika selisih antara harga solar dan biodiesel di pasar tinggi, alias harga biodiesel lebih mahal, maka dana yang digelontorkan BPDPKS membengkak, seperti yang terjadi di 2021.

Eddy menuturkan pengeluaran BPDPKS pada 2021 menembus Rp51 triliun. Hal itu disebabkan harga fatty acid methyl esters (FAME) atau biodiesel meningkat tajam, sedangkan di sisi lain harga solar turun.

Sementara itu, Eddy menyebut ada perbedaan sejak Juli 2022. Ia menuturkan bahwa harga solar naik dan harga biodiesel relatif lebih rendah.

“Selisihnya gak ada, negatif bahkan. Oleh karena itu BPDPKS sejak Juli-Desember (2022) lalu kami tidak membayar (selisih HIP) karena memang tidak ada selisihnya,” ungkap Eddy dalam acara Energy Corner Special B35 Implementation di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (31/1).

Meski begitu, Eddy mengatakan bahwa awal 2023 ini terlihat harga biodiesel tampak bergerak lebih tinggi dari solar. Hanya saja, selisih HIP tidak terlalu besar. Sebab itu, ia yakin tidak akan terjadi fluktuasi harga yang terlalu ekstrem.

“Pada 2023 mungkin tidak akan terjadi fluktuasi harga. Kami sudah memproyeksikan dengan penyaluran 13,15 juta KL, anggaran atau dana yang diperlukan itu kurang lebih Rp30 triliun sampai Rp31 triliun,” katanya.

“Itu telah diputuskan oleh komite pengarah dan BPDPKS telah mengalokasikan dana tersebut untuk memenuhi kewajiban pembayaran selisih HIP solar dengan HIP biodiesel,” sambung Eddy.

Saat Berita ini ditayangkan Redaksi belum berhasil meminta klarifikasi ke Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman untuk menanggapi pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron.

Pos terkait