Cerita Nestapa Pedagang Cinderamata Desa Tomok Samosir

Cerita Nestapa Pedagang Cinderamata Desa Tomok Samosir

Fajarasia.id – Di tengah hiruk-pikuk kawasan wisata cinderamata dan oleh-oleh khas Batak Desa Tomok, Samosir, cerita nestapa pedagang cinderamata menjadi sebuah kisah yang mencengangkan. Joshua Sitanggang (46), salah satu pengrajin ukiran setia di Desa Tomok, kini harus menghadapi tantangan besar dalam menjalani usahanya.

Sebelum pandemi, Joshua bisa tersenyum lebar dengan penghasilan ketika momen Natal mencapai Rp3 juta. Namun, sayangnya, Natal tahun ini membawa berita sedih, di mana Joshua hanya mampu meraup Rp70 ribu sehari.

“Ini lah sampai detik ini masih 70 ribu. Dari pagi sampe sore ini,” ucapnya , Selasa (26/12/2023)

Meskipun jumlah wisatawan yang membanjiri kawasan tersebut meningkat pesat, nyatanya, daya beli mereka tidak seiring dengan lonjakan jumlah pengunjung. Joshua bercerita betapa sulitnya menjual produk cendramata buatannya meski ada banyak orang berkeliling.

Seolah-olah turis lebih memilih menikmati pemandangan daripada mengeluarkan uang untuk membeli kenang-kenangan. “Ukiran macam-macam, ini kalender batak, dompet raja, kecapi yang bisa dipakai alat musik, kalau ini kecapi hiasan, kalau ini miniaturnya gajah nupak. Dan berbagai ukiran lain khas batak teemasuklah itu cecak, hanger,” katanya.

Kondisi ekonomi yang sulit memaksa Joshua untuk mencari alternatif lain demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ia pun harus merangkul ladang jagung hingga sayuran sebagai usaha tambahan.

Sebuah langkah tak terduga yang perlu diambil untuk bertahan. Joshua menyampaikan betapa sulitnya menjalankan dua pekerjaan sekaligus, tapi ia harus melakukannya untuk menutupi kekurangan pendapatan dari dagangannya.

Dunia Joshua diisi dengan berbagai pernak-pernik buatan tangan khas Batak. Kalender, alat musik, tempat barang, dan patung-patung unik yang terbuat dari kayu anti rayap dan tumbuh subur di tanah Samosir. Produk-produk ini bukan hanya dagangan bagi Joshua, melainkan juga potongan kecil dari kisah dan budaya Batak yang ingin Ia bagikan kepada dunia.

Tidak hanya Joshua, Rola Sidabutar (70), seorang pedagang pakaian dan kain khas Batak, juga merasakan getirnya Natal kali ini. Meski memiliki pelanggan yang cukup, namun pada hari Natal, Ia hanya mampu meraih penghasilan sebesar 50 ribu rupiah.

“Ya mungkin pengunjung pun gk punya duit, gak taulah. Makanya gak mau belanja kan,” ucapnya.

Seolah-olah wisatawan hanya ingin melihat tanpa benar-benar memahami arti mendukung pedagang lokal. Harapan besar para pedagang seperti Joshua dan Rola terletak pada langkah besar pemerintah.

Mereka berharap adanya promosi besar-besaran untuk menarik lebih banyak wisatawan, tetapi yang lebih penting adalah upaya pemerintah untuk mendorong turis agar tidak hanya menikmati pemandangan, tetapi juga membeli produk lokal.

Dalam seruan mereka, para pedagang berharap agar wisatawan bisa membawa pulang potongan kecil dari budaya Batak yang mereka bawa dalam cendramata atau pakaian khas. Itu bukan hanya sebagai dukungan ekonomi, tapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap keunikan dan keindahan lokalitas Desa Tomok di tengah pesona Samosir.

“Dagangna kami sarung pantai batak, ulos batak, batik batak, kaos khas danau toba,” ujarnya.

Saatnya untuk mengubah paradigma wisatawan, bukan hanya melihat, tetapi juga turut serta dalam mendukung kehidupan ekonomi di setiap sudut indah negeri ini. Itulah harapan besar Joshua, Rola, dan seluruh pedagang di Desa Tomok yang berjuang menghadapi badai ekonomi, di mana setiap pembeli adalah peluang baru untuk menjaga keberlanjutan kehidupan mereka.****

Pos terkait