Fajarasia.id — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta resmi menggelar sidang perdana perkara dugaan korupsi dalam tata kelola impor bahan bakar minyak (BBM) dan penjualan solar nonsubsidi. Jaksa penuntut umum menyebutkan bahwa praktik tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara yang fantastis, mencapai lebih dari Rp 285 triliun.
Tiga Terdakwa Hadapi Dakwaan Awal
Sidang yang berlangsung pada Kamis (9/10) menghadirkan empat terdakwa, namun dakwaan awal hanya dibacakan untuk tiga orang, yakni:
Riva Siahaan, mantan Direktur Pemasaran dan Niaga serta Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Maya Kusmaya, eks Vice President Trading & Other Business dan Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
Edward Corne, mantan pejabat di unit Crude Trading dan Import & Export Product Trading PT Pertamina Patra Niaga.
Dua Sumber Dugaan Korupsi
Jaksa memaparkan dua titik utama dugaan korupsi:
1. Impor BBM
Edward Corne diduga memberikan perlakuan khusus kepada dua perusahaan asing, yakni BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd, dalam proses tender gasoline RON 90 dan RON 92. Ia disebut membocorkan informasi pengadaan dan memperpanjang waktu penawaran secara sepihak, lalu mengusulkan kedua perusahaan tersebut sebagai pemenang tender kepada Maya Kusmaya dan Riva Siahaan.
2. Penjualan Solar Nonsubsidi
Riva Siahaan dituduh menyetujui harga jual solar industri di bawah ambang batas harga terendah, bahkan lebih rendah dari harga pokok penjualan dan harga dasar solar bersubsidi. Praktik ini disebut merugikan PT Pertamina Patra Niaga secara signifikan.
Rincian Kerugian Negara
Jaksa merinci dua jenis kerugian yang ditimbulkan:
Kerugian Keuangan Negara:
USD 2,7 miliar (setara Rp 45,1 triliun)
Rp 25,4 triliun
Total: Rp 70,5 triliun
Kerugian Perekonomian Negara:
Beban ekonomi akibat harga BBM yang terlalu tinggi: Rp 172 triliun
Keuntungan ilegal dari selisih harga impor: USD 2,6 miliar (Rp 43,1 triliun)
Total: Rp 215 triliun
Jika digabungkan, total kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 285,7 triliun, angka yang disebut jaksa sebagai dampak dari tata kelola yang menyimpang dalam pengadaan dan distribusi BBM.****