Fajarasia.id – Penelitian dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan sebanyak 2,45 juta remaja berusia 10 – 17 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental. Angka tersebut sama dengan perbandingan satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Sementara itu, ada 15,5 juta remaja usia 10 – 17 tahun atau satu dari tiga remaja Indonesia, memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang juga merupakan peneliti utama I-NAMHS mengatakan remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” kata Prof Siswanto, dikutip dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, Jumat (16/12).
Prof Siswanto menjelaskan, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 persen, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5 persen.
Meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas kesehatan, kata dia, namun hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka.
Padahal, lanjut Prof Siswato, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10 – 19 tahun, sehingga populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia, terutama untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024.
“Hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” jelas Siswanto.
Pengaruh Kebijakan saat Pandemi Covid-19
Menurut Siswato, I-NAMHS juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental remaja. Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.
Temuan lain, adalah bahwa kebanyakan (38.2 persen) pengasuh remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka.
Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43.8 persen) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Seperti diketahui, I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey yang juga diselenggarakan di Kenya dan Vietnam. Penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Menurut Siswanto, ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti I-NAMHS sangat diperlukan.
“Selama ini, data yang kita punya tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran. Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” ungkapnya. ****