Kemenlu RI Panggil Kepala Perwakilan PBB Indonesia

Kemenlu RI Panggil Kepala Perwakilan PBB Indonesia

Fajarasia.id – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memanggil Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia, Valerie Julliand, di Jakarta. Pemanggilan Valerie sebagai tindaklanjut dari pernyataan terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan, Selasa (6/12/2022) lalu.

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah dalam konferensi pers, di Kemenlu, Senin (12/12/2022). “Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam interaksi perwakilan asing ataupun PBB di satu negara,” katanya.

“Jalur komunikasikan selalu ada untuk membahas berbagai isu. Jadi, kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diklarifikasi,” ujarnya.

Ia menyebut, ada baiknya perwakilan asing dan PBB tidak terburu-buru mengeluarkan pendapat sebelum mendapatkan informasi yang lebih jelas. Sebelumnya, PBB Perwakilan Indonesia mengeluarkan pernyataan terkait kekhawatir sejumlah hal yang bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia.

Dalam pernyataannya itu, PBB menilai beberapa pasal KUHP berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Faizasyah menjelaskan, penting untuk menggunakan berbagai jalur diplomatik, dalam menyampaikan pandangan terkait kebijakan atau aturan hukum nasional.

“Kita memang tidak berharap menggunakan ‘megaphone diplomacy’ (diplomasi pengeras suara) dalam masalah-masalah seperti ini. Karena, itu memang sudah menjadi satu etika dalam diplomasi,” ujarnya.

“Perwakilan kita di luar negeri kan juga tidak pernah ikut campur pada pembahasan aturan hukum nasional di satu negara. Walaupun muncul kontroversi di masyarakatnya,” ucapnya.

“Katakanlah, tadi disinggung masalah aborsi. Di Amerika sendirikan menjadi isu,” ujarnya.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej mengungkapkan, terdapat surat dari PBB ditujukan kepada Komisi II DPR RI. Surat dikirimkan sehari setelah persetujuan tingkat pertama RKUHP telah diputuskan.

“Jadi, sangat terlambat, memang di dalam surat itu PBB menawarkan bantuan. Terutama, terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan HAM,” kata pria akrap disapa Eddy tersebut.

“Tetapi, kami waktu itu sudah berembuk dan karena sudah sampai 25 November. Sementara, persetujuan tingkat pertama pada 24 November,” ujarnya.

Direktur HAM dan Kemanusiaan, Achsanul Habib mengungkapkan, Special Rapporteur (Pelapor Khusus) merupakan pihak yang mengirimkan surat kepada Indonesia. Sesuai prosedur maka surat yang dikirimkan pada 25 November 2022 itu, akan dijawab 60 hari setelah pengiriman.

“Special Rapporteur itu bukan refleksi Dewan HAM. Surat per tanggal 25 November itu sedang kami proses, sebagai referensi tanggal 25 Januari itu kira-kira deadline-nya,” kata Eddy.****

Pos terkait